Tik.. tok.. tik.. tok…
Begitulah
yang terdengar di sini. Hanya suara alunan denting jam yang terdengar dan
tatapan mata yang tersudut padaku. Ya, semua mata tertuju padaku. Papa, mama,
dan adikku, Resha. Kita semua terdiam dalam ruangan ini. Dan mereka saling
memandangku dengan raut muka yang menandakan keheranan. Jelas saja mereka
seperti ini, karena besok adalah hari wisudaku. Meskipun aku masih berumur 23
tahun, aku telah lulus S2 dari Universitas Indonesia Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik. Dan aku mendapat tawaran dari Duta Besar Amerika Serikat di
Jakarta untuk bekerja di Amerika sebagai perdana menteri. Namun, entah mengapa
aku harus berpikir ribuan kali untuk tawaran ini. Dan aku belum menemukan
jawabannya. Aku bingung. Dan sangat bingung. Di tengah kebingunganku, tiba-tiba
mama memecah semua yang aku pikirkan dan keheningan ruang keluarga yang seperti
kuburan ini.
“Mama
masih bingung denganmu, Daf. Kenapa kamu tidak mau bekerja di luar negeri?
Jelas-jelas upah yang bisa dihasilkan di sana jauh lebih menjamin daripada di
Indonesia. Lagipula kamu ini anak yang pandai, Dafa. Kamu banyak mendapat
prestasi dan penghargaan dari pemerintah. Dan kamu mendapat tawaran untuk
bekerja sebagai perdana menteri di Amerika secara
cuma-cuma. Apa lagi yang kamu
pikirkan, Dafa??”
Aku
semakin terdiam setelah mendengar ucapan mama. Aku, Dafa Ardiansyah, anak yang
dikenal pandai dengan segala pemikiran dan diplomasinya, sekarang duduk terdiam
dan tak bisa berkata apa-apa setelah mendapat semacam ‘hantaman’ dari sang
mama. Dalam kebisuanku, papa tiba-tiba menyambung.
“Iya,
Dafa. Kamu ini putra pertama kami. Kami sebagai orang tua akan sangat bahagia
bila melihat putra pertamanya sukses, apalagi di usia yang belia ini. Ayolah, Dafa.
Apa yang kamu pikirkan? Atau kamu takut kamu tidak bisa melaksanakan pekerjaan
ini? Papa yakin kamu pasti bisa, Nak. Kamu ini anak pandai. Lihat lemari itu.
Di situ banyak piala dan medali yang kamu peroleh.” Kata papa sambil menunjuk
lemari itu dan menghampiriku lalu mengelus-elus kepalaku.
Aku
masih bingung dan tak tahu harus bagaimana. Aku seperti terpenjara dalam
pikiranku sendiri. Aku merasa kali ini pikiranku sangat sempit sekali hingga
aku menemukan kebuntuan. Dan setelah aku mencoba menenangkan pikiranku,
kudapatkan rasa sakit di kepalaku. Ya, kepalaku pusing. Aku butuh istirahat.
Akhirnya, aku bersuara setelah lama bisu dalam kebingunganku.
“Maafkan
Dafa ya, Pa, Ma. Dafa masih belum tahu apa yang akan Dafa lakukan. Dafa masih
bingung. Dafa perlu waktu untuk memikirkan ini kembali, karena ini menyangkut
diri Dafa dan masa depan Dafa. Sekarang Dafa mau istirahat dulu. Dafa takut
besok terlambat bangun. Papa, Mama, dan Resha juga segera istirahat ya! Selamat
malam.” Kataku dan segera masuk menuju kamar.
Keesokan
harinya di meja makan, semua telah berpakaian rapi. Papa dengan jas yang baru dibelinya
ketika di Singapore minggu lalu. Mama berpakaian seperti seorang istri presiden
dengan parfum yang wanginya sangat semerbak hingga menyelubungi setiap
millimeter ruangan ini. Dan si kecil Resha berpakaian layaknya putri raja.
Semua terlihat tampan dan cantik. Sedangkan aku hanya memakai pakaian wisuda beserta
topinya.
“Wah,
Kak Dafa ganteng sekali,” kata Resha memujiku.
“Ah,
Resha bisa aja,” kataku sambil tersenyum malu mendengar pujian dari Resha.
“Sudah,
yuk. Segera habiskan sarapannya, dan kita segera berangkat. Kalau terlambat kan
bisa memalukan.” Kata papa yang slalu menerapkan sikap disiplinnya.
Setelah
selesai sarapan, kita langsung masuk mobil dan berangkat menuju aula
Universitas Indonesia untuk melihat prosesi wisudaku. Sesampainya di aula
Universitas Indonesia, aku terbelalak dengan apa yang ada di hadapanku. Ribuan
orang atau bahkan mungkin puluhan ribu orang ada di dalam aula yang untungnya
sangat luas ini. Hal ini berbeda sekali dengan wisuda pertamaku. Di wisuda
pertamaku, masih terlihat tempat-tempat kosong di aula, sedangkan sekarang?
Wow, hampir semuanya berdesak-desakan. Akhirnya aku dan keluargaku berpisah.
Aku menuju ke tempat para calon wisuda,
dan keluargaku menuju ke tempat duduk para tamu undangan.
Prosesi
wisudaku ini berlangsung secara khidmat selama kurang lebih 7 jam. Ya, karena saking banyaknya calon wisuda tahun 2012
ini (bayangkan, sekitar 6000 calon wisuda akan diwisuda hari ini) dan aku yang
paling muda di antara mereka semua. Setelah aku diwisuda, aku mendapat gelar
Doktor. Dan karena usiaku yang masih muda ini serta prestasi-prestasi yang aku
raih selama aku kuliah di UI ini, aku mendapat medali dan penghargaan yang
sangat luar biasa dari rektor UI. Aku sangat bahagia hingga aku meneteskan air
mata. Dan aku berpikir, semua ini tidak akan aku terima tanpa bantuan dan kasih
sayang keluargaku. Akhirnya aku memutuskan untuk menuruti permintaan orang
tuaku, yaitu menerima tawaran bekerja di luar negeri. Ya, ini sebagai balas
budiku kepada orang tuaku.
“Pa,
Ma, Dafa mau menerima tawaran itu. Dan Dafa siap.” Ucapku dengan tegas ketika
di dalam mobil yang sedang dalam perjalanan menuju rumah. Serentak semua yang
ada di dalam mobil yang dikendarai papaku ini menoleh ke arahku sambil
terheran-heran, namun ku tangkap juga ada sunggingan senyum bahagia dari wajah
mereka semua.
“Kamu
serius, Nak?” Tanya mamaku seolah tak percaya.
“Iya,
Ma. Dafa serius. Dafa ingin membahagiakan kalian. Karena tanpa kalian, Dafa
tidak akan bisa menjadi seperti ini.”
“Apa
kamu sudah pikirkan ini matang-matang, Daf? Apa kamu sudah tidak takut?” Tanya
papa yang berusaha meyakinkan dirinya.
“Iya,
Pa. Dafa yakin. Sebenarnya tidak ada sama sekali rasa ketakutan pada diri Dafa.
Karena Dafa mempunyai prinsip, bahwa rasa takut hanya akan menghancurkan semua
yang sebenarnya Dafa bisa lakukan.”
Mendengar
jawabanku yang begitu lantang dan tegas seperti itu, akhirnya mereka semua
yakin. Aku melihat di sini mamalah yang lebih semangat mengekspresikan
kebahagiaannya. Mama tak henti-hentinya mengucap syukur kepada Allah SWT sampai
kami tiba di rumah. Seturunnya kami dari mobil, papa, mama, dan Resha langsung
memelukku dan menggiringku masuk ke dalam rumah. Kemudian, kami meminta tolong
kepada Pak Wajo, pembantu kami, untuk memfoto kami. Kami semua berfoto keluarga
sebagai kenang-kenangan dengan pakaian kami yang sama seperti tadi pagi. Hanya
saja perbedaannya ada padaku. Terlihat ada medali emas yang terkalungkan di
leherku. Daaaan “Cekliik.”
***
Setelah
10 tahun bekerja sebagai perdana menteri di Amerika Serikat, banyak yang
mengatakan bahwa aku membawa perubahan besar bagi masyarakat Amerika Serikat. Mendengar
banyak bibir yang bercuap seperti itu, terdengar pula kabar yang entah benar
atau tidak bahwa aku akan dicalonkan sebagai wakil presiden. Ku kira itu hanya
sekedar kertas kosong yang masih mulus yang terbang begitu saja karena angin
yang menggendongnya. Tapi ternyata… kertas tersebut berisi rentetan tulisan
yang menyatakan BENAR bahwa aku akan dicalonkan sebagai wakil presiden. Sekejap
tubuhku langsung dilumuri keringat walaupun udara di sini jauh melebihi udara
dingin normal yang pernah ku rasakan. Aku sangat terkejut. Sangat. Aku terdiam
bagaikan terkutuk menjadi patung hingga tak mendengar suara orang yang
meneleponku. Hingga telepon yang ke-29, aku baru terbangun dari ketidaksadaran
yang membiusku barusan. Ternyata mama. Aku yakin mama pasti sudah mendengar
berita ini makanya mama langsung meneleponku seperti ini. Dan entah mengapa aku
tak langsung mengangkat telepon dari mama.
Tanpa
sadar, tiba-tiba aku membuka mata. Dan, oh ternyata hari sudah cerah. Entah
siapa atau apa yang membuatku tidur, yang pasti kepalaku terasa ringan
sekarang. Aku membersihkan diri lalu bergegas berangkat menghadap kepala
menteri yang kemarin malam memberiku surat kabar tentang pencalonanku sebagai
wakil presiden. Aku berbicara panjang lebar dengan beliau sekitar 2 jam.
Kemudian aku keluar dari ruangannya dan aku bergegas kembali menuju rumah
tempat aku tinggal seorang diri di negara yang bukan merupakan tanah
kelahiranku. Lalu aku membereskan semua barang-barangku dan segera terbang
kembali menuju Indonesia. Sebelum menaikki pesawat, aku memberi pesan singkat
pada mamaku. “Ma, sekarang Dafa menuju ke Indonesia” dan segera aku mematikan
ponselku.
Perjalanan
telah ku tempuh sendirian selama kurang lebih 6 jam. Dan ketika aku langkahkan
kaki pada tangga terakhir dari pesawat, aku melihat 3 wajah yang sama sekali
tidak asing dalam memoriku sedang menungguku. Ya, mereka keluarga tercintaku.
Mereka menyambutku dengan hangat lalu membawakan semua barang-barangku.
Langsung kami memasukki mobil dan segera menuju rumah kami. Dalam perjalanan
aku hanya terdiam dan tersenyum melihat kegembiraan pada wajah papa, mama, dan
Resha karena kepulanganku. Jelas saja, aku sudah sekitar 10 tahun meninggalkan
mereka di sini, dan si Resha sudah tumbuh menjadi gadis dewasa yang sangat
cantik.
Sesampainya
di rumah, mereka sangat memanjakanku, hingga menuntunku memasukki rumah. Setelah
masuk, aku merasa air mataku ingin sekali terjatuh. Ya, aku merindukan ruangan
ini, suasana di sini, dan kehangatan keluarga ini. Dan entahlah, mungkin aku
lupa memasang bendungan pada mataku hingga akhirnya air mataku mengalir cukup
lancar. Lalu mama menanyaiku, “Lho, Dafa sayang. Kamu kenapa, Nak?”
“Nggak,
Ma. Dafa baik-baik saja. Dafa hanya merindukan suasana di sini.” Kataku sambil
menghapus air mataku. Lalu aku melanjutkan perkataanku, “Ma, maaf kemarin Dafa
tidak mengangkat telepon dari Mama. Dafa mau mengatakan sesuatu kepada Papa,
Mama, dan Resha. Tapi sebelumnya Dafa minta maaf sekali dan Dafa harap kalian
tidak kecewa dengan keputusan Dafa.”
Serentak
semua terdiam sambil keheranan. Dan aku segera melanjutkan apa yang ingin aku
katakan yang aku tahu ini juga adalah jawaban dari apa yang akan mereka
tanyakan padaku. “Dafa tahu, pasti Mama menelepon kemarin malam karena Mama
mendengar kabar bahwa Dafa akan dicalonkan sebagai wakil presiden Amerika
Serikat, kan? Inilah alasan mengapa Dafa tiba-tiba kembali ke Indonesia. Dafa
menolak tawaran tersebut, Pa, Ma. Dafa melakukan ini bukan tanpa alasan, tapi Dafa
sangat memiliki alasan yang kuat. Ya, mungkin menurut Papa dan Mama alasannya
cukup bodoh, tapi menurut Dafa alasan ini sangat mulia. Dafa berpikir seperti
ini. Dafa dilahirkan di Indonesia. Dan Dafa dibesarkan juga di Indonesia. Dafa
diberi ilmu-ilmu pengetahuan, pendidikan dari Papa, Mama, dan juga guru-guru Dafa
yang semuanya juga berasal dari Indonesia. Lalu, mengapa ketika Dafa sudah
menjadi seperti sekarang, yang mempunyai nama besar, Dafa malah bekerja untuk
negara orang lain? Bukankah Papa, Mama dan guru-guru Dafa mendidik Dafa supaya
kelak Dafa bisa membuat Indonesia semakin maju? Dafa merasa malu kalau Dafa
terus bekerja untuk negara lain yang jelas-jelas bukan tanah kelahiran Dafa.
Dan Dafa juga merasa tak tahu diri Pa, Ma, karena Dafa bekerja kepada negara
yang bukan merupakan mesin yang membuat Dafa menjadi seperti sekarang. Dafa
yang sekarang adalah hasil karya Indonesia Pa, Ma. Dafa merasa berhutang kepada
sang garuda. Dan ketika Dafa bisa merubah masyarakat Amerika Serikat, Dafa
berpikir, harusnya Dafa lebih bisa merubah masyarakat di tanah kelahiran Dafa
sendiri agar menjadi lebih baik. Bukankah ini juga bisa menjadi suatu
kebanggaan yang luar biasa jika Dafa mampu memperbaiki masyarakat Indonesia Pa,
Ma?”
Selesai
dengan perkataanku yang panjang lebar tersebut, mereka semua terdiam dan
tersenyum sambil menitikkan air mata. Lalu mereka memelukku erat-erat, yang menurutku
ini menandakan bahwa mereka setuju denganku.
“Dafa
berjanji pada kalian. Papa, Mama, Resha, dan Indonesia. Dafa akan berusaha
keras untuk merebahkan kembali sayap Garuda Indonesia, agar dia bisa membawa
Indonesia terbang tinggi dan dikenal baik di mata dunia.”
Maafkan aku, Garuda, yang telah
melupakan semua jasamu. Kini aku kembali kepadamu, dan aku berjanji padamu. Aku
akan bisa membuat sayapmu terbang tinggi. Hingga engkau bisa terbang dengan
membawa nama Indonesia dan kau buktikan kepada dunia bahwa Indonesia BISA
menjadi lebih baik!