Friday, November 30, 2012

Berhutang pada Sang Garuda

Tik.. tok.. tik.. tok…
Begitulah yang terdengar di sini. Hanya suara alunan denting jam yang terdengar dan tatapan mata yang tersudut padaku. Ya, semua mata tertuju padaku. Papa, mama, dan adikku, Resha. Kita semua terdiam dalam ruangan ini. Dan mereka saling memandangku dengan raut muka yang menandakan keheranan. Jelas saja mereka seperti ini, karena besok adalah hari wisudaku. Meskipun aku masih berumur 23 tahun, aku telah lulus S2 dari Universitas Indonesia Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Dan aku mendapat tawaran dari Duta Besar Amerika Serikat di Jakarta untuk bekerja di Amerika sebagai perdana menteri. Namun, entah mengapa aku harus berpikir ribuan kali untuk tawaran ini. Dan aku belum menemukan jawabannya. Aku bingung. Dan sangat bingung. Di tengah kebingunganku, tiba-tiba mama memecah semua yang aku pikirkan dan keheningan ruang keluarga yang seperti kuburan ini.
         “Mama masih bingung denganmu, Daf. Kenapa kamu tidak mau bekerja di luar negeri? Jelas-jelas upah yang bisa dihasilkan di sana jauh lebih menjamin daripada di Indonesia. Lagipula kamu ini anak yang pandai, Dafa. Kamu banyak mendapat prestasi dan penghargaan dari pemerintah. Dan kamu mendapat tawaran untuk bekerja sebagai perdana menteri di Amerika secara cuma-cuma­. Apa lagi yang kamu pikirkan, Dafa??”
Aku semakin terdiam setelah mendengar ucapan mama. Aku, Dafa Ardiansyah, anak yang dikenal pandai dengan segala pemikiran dan diplomasinya, sekarang duduk terdiam dan tak bisa berkata apa-apa setelah mendapat semacam ‘hantaman’ dari sang mama. Dalam kebisuanku, papa tiba-tiba menyambung.
“Iya, Dafa. Kamu ini putra pertama kami. Kami sebagai orang tua akan sangat bahagia bila melihat putra pertamanya sukses, apalagi di usia yang belia ini. Ayolah, Dafa. Apa yang kamu pikirkan? Atau kamu takut kamu tidak bisa melaksanakan pekerjaan ini? Papa yakin kamu pasti bisa, Nak. Kamu ini anak pandai. Lihat lemari itu. Di situ banyak piala dan medali yang kamu peroleh.” Kata papa sambil menunjuk lemari itu dan menghampiriku lalu mengelus-elus kepalaku.
Aku masih bingung dan tak tahu harus bagaimana. Aku seperti terpenjara dalam pikiranku sendiri. Aku merasa kali ini pikiranku sangat sempit sekali hingga aku menemukan kebuntuan. Dan setelah aku mencoba menenangkan pikiranku, kudapatkan rasa sakit di kepalaku. Ya, kepalaku pusing. Aku butuh istirahat. Akhirnya, aku bersuara setelah lama bisu dalam kebingunganku.
“Maafkan Dafa ya, Pa, Ma. Dafa masih belum tahu apa yang akan Dafa lakukan. Dafa masih bingung. Dafa perlu waktu untuk memikirkan ini kembali, karena ini menyangkut diri Dafa dan masa depan Dafa. Sekarang Dafa mau istirahat dulu. Dafa takut besok terlambat bangun. Papa, Mama, dan Resha juga segera istirahat ya! Selamat malam.” Kataku dan segera masuk menuju kamar.
Keesokan harinya di meja makan, semua telah berpakaian rapi. Papa dengan jas yang baru dibelinya ketika di Singapore minggu lalu. Mama berpakaian seperti seorang istri presiden dengan parfum yang wanginya sangat semerbak hingga menyelubungi setiap millimeter ruangan ini. Dan si kecil Resha berpakaian layaknya putri raja. Semua terlihat tampan dan cantik. Sedangkan aku hanya memakai pakaian wisuda beserta topinya.
“Wah, Kak Dafa ganteng sekali,” kata Resha memujiku.
“Ah, Resha bisa aja,” kataku sambil tersenyum malu mendengar pujian dari Resha.
“Sudah, yuk. Segera habiskan sarapannya, dan kita segera berangkat. Kalau terlambat kan bisa memalukan.” Kata papa yang slalu menerapkan sikap disiplinnya.
Setelah selesai sarapan, kita langsung masuk mobil dan berangkat menuju aula Universitas Indonesia untuk melihat prosesi wisudaku. Sesampainya di aula Universitas Indonesia, aku terbelalak dengan apa yang ada di hadapanku. Ribuan orang atau bahkan mungkin puluhan ribu orang ada di dalam aula yang untungnya sangat luas ini. Hal ini berbeda sekali dengan wisuda pertamaku. Di wisuda pertamaku, masih terlihat tempat-tempat kosong di aula, sedangkan sekarang? Wow, hampir semuanya berdesak-desakan. Akhirnya aku dan keluargaku berpisah. Aku  menuju ke tempat para calon wisuda, dan keluargaku menuju ke tempat duduk para tamu undangan.
Prosesi wisudaku ini berlangsung secara khidmat selama kurang lebih 7 jam. Ya, karena saking banyaknya calon wisuda tahun 2012 ini (bayangkan, sekitar 6000 calon wisuda akan diwisuda hari ini) dan aku yang paling muda di antara mereka semua. Setelah aku diwisuda, aku mendapat gelar Doktor. Dan karena usiaku yang masih muda ini serta prestasi-prestasi yang aku raih selama aku kuliah di UI ini, aku mendapat medali dan penghargaan yang sangat luar biasa dari rektor UI. Aku sangat bahagia hingga aku meneteskan air mata. Dan aku berpikir, semua ini tidak akan aku terima tanpa bantuan dan kasih sayang keluargaku. Akhirnya aku memutuskan untuk menuruti permintaan orang tuaku, yaitu menerima tawaran bekerja di luar negeri. Ya, ini sebagai balas budiku kepada orang tuaku.
“Pa, Ma, Dafa mau menerima tawaran itu. Dan Dafa siap.” Ucapku dengan tegas ketika di dalam mobil yang sedang dalam perjalanan menuju rumah. Serentak semua yang ada di dalam mobil yang dikendarai papaku ini menoleh ke arahku sambil terheran-heran, namun ku tangkap juga ada sunggingan senyum bahagia dari wajah mereka semua.
“Kamu serius, Nak?” Tanya mamaku seolah tak percaya.
“Iya, Ma. Dafa serius. Dafa ingin membahagiakan kalian. Karena tanpa kalian, Dafa tidak akan bisa menjadi seperti ini.”
“Apa kamu sudah pikirkan ini matang-matang, Daf? Apa kamu sudah tidak takut?” Tanya papa yang berusaha meyakinkan dirinya.
“Iya, Pa. Dafa yakin. Sebenarnya tidak ada sama sekali rasa ketakutan pada diri Dafa. Karena Dafa mempunyai prinsip, bahwa rasa takut hanya akan menghancurkan semua yang sebenarnya Dafa bisa lakukan.”
Mendengar jawabanku yang begitu lantang dan tegas seperti itu, akhirnya mereka semua yakin. Aku melihat di sini mamalah yang lebih semangat mengekspresikan kebahagiaannya. Mama tak henti-hentinya mengucap syukur kepada Allah SWT sampai kami tiba di rumah. Seturunnya kami dari mobil, papa, mama, dan Resha langsung memelukku dan menggiringku masuk ke dalam rumah. Kemudian, kami meminta tolong kepada Pak Wajo, pembantu kami, untuk memfoto kami. Kami semua berfoto keluarga sebagai kenang-kenangan dengan pakaian kami yang sama seperti tadi pagi. Hanya saja perbedaannya ada padaku. Terlihat ada medali emas yang terkalungkan di leherku. Daaaan “Cekliik.
***
Setelah 10 tahun bekerja sebagai perdana menteri di Amerika Serikat, banyak yang mengatakan bahwa aku membawa perubahan besar bagi masyarakat Amerika Serikat. Mendengar banyak bibir yang bercuap seperti itu, terdengar pula kabar yang entah benar atau tidak bahwa aku akan dicalonkan sebagai wakil presiden. Ku kira itu hanya sekedar kertas kosong yang masih mulus yang terbang begitu saja karena angin yang menggendongnya. Tapi ternyata… kertas tersebut berisi rentetan tulisan yang menyatakan BENAR bahwa aku akan dicalonkan sebagai wakil presiden. Sekejap tubuhku langsung dilumuri keringat walaupun udara di sini jauh melebihi udara dingin normal yang pernah ku rasakan. Aku sangat terkejut. Sangat. Aku terdiam bagaikan terkutuk menjadi patung hingga tak mendengar suara orang yang meneleponku. Hingga telepon yang ke-29, aku baru terbangun dari ketidaksadaran yang membiusku barusan. Ternyata mama. Aku yakin mama pasti sudah mendengar berita ini makanya mama langsung meneleponku seperti ini. Dan entah mengapa aku tak langsung mengangkat telepon dari mama.
Tanpa sadar, tiba-tiba aku membuka mata. Dan, oh ternyata hari sudah cerah. Entah siapa atau apa yang membuatku tidur, yang pasti kepalaku terasa ringan sekarang. Aku membersihkan diri lalu bergegas berangkat menghadap kepala menteri yang kemarin malam memberiku surat kabar tentang pencalonanku sebagai wakil presiden. Aku berbicara panjang lebar dengan beliau sekitar 2 jam. Kemudian aku keluar dari ruangannya dan aku bergegas kembali menuju rumah tempat aku tinggal seorang diri di negara yang bukan merupakan tanah kelahiranku. Lalu aku membereskan semua barang-barangku dan segera terbang kembali menuju Indonesia. Sebelum menaikki pesawat, aku memberi pesan singkat pada mamaku. “Ma, sekarang Dafa menuju ke Indonesia” dan segera aku mematikan ponselku.
Perjalanan telah ku tempuh sendirian selama kurang lebih 6 jam. Dan ketika aku langkahkan kaki pada tangga terakhir dari pesawat, aku melihat 3 wajah yang sama sekali tidak asing dalam memoriku sedang menungguku. Ya, mereka keluarga tercintaku. Mereka menyambutku dengan hangat lalu membawakan semua barang-barangku. Langsung kami memasukki mobil dan segera menuju rumah kami. Dalam perjalanan aku hanya terdiam dan tersenyum melihat kegembiraan pada wajah papa, mama, dan Resha karena kepulanganku. Jelas saja, aku sudah sekitar 10 tahun meninggalkan mereka di sini, dan si Resha sudah tumbuh menjadi gadis dewasa yang sangat cantik.
Sesampainya di rumah, mereka sangat memanjakanku, hingga menuntunku memasukki rumah. Setelah masuk, aku merasa air mataku ingin sekali terjatuh. Ya, aku merindukan ruangan ini, suasana di sini, dan kehangatan keluarga ini. Dan entahlah, mungkin aku lupa memasang bendungan pada mataku hingga akhirnya air mataku mengalir cukup lancar. Lalu mama menanyaiku, “Lho, Dafa sayang. Kamu kenapa, Nak?”
“Nggak, Ma. Dafa baik-baik saja. Dafa hanya merindukan suasana di sini.” Kataku sambil menghapus air mataku. Lalu aku melanjutkan perkataanku, “Ma, maaf kemarin Dafa tidak mengangkat telepon dari Mama. Dafa mau mengatakan sesuatu kepada Papa, Mama, dan Resha. Tapi sebelumnya Dafa minta maaf sekali dan Dafa harap kalian tidak kecewa dengan keputusan Dafa.”
Serentak semua terdiam sambil keheranan. Dan aku segera melanjutkan apa yang ingin aku katakan yang aku tahu ini juga adalah jawaban dari apa yang akan mereka tanyakan padaku. “Dafa tahu, pasti Mama menelepon kemarin malam karena Mama mendengar kabar bahwa Dafa akan dicalonkan sebagai wakil presiden Amerika Serikat, kan? Inilah alasan mengapa Dafa tiba-tiba kembali ke Indonesia. Dafa menolak tawaran tersebut, Pa, Ma. Dafa melakukan ini bukan tanpa alasan, tapi Dafa sangat memiliki alasan yang kuat. Ya, mungkin menurut Papa dan Mama alasannya cukup bodoh, tapi menurut Dafa alasan ini sangat mulia. Dafa berpikir seperti ini. Dafa dilahirkan di Indonesia. Dan Dafa dibesarkan juga di Indonesia. Dafa diberi ilmu-ilmu pengetahuan, pendidikan dari Papa, Mama, dan juga guru-guru Dafa yang semuanya juga berasal dari Indonesia. Lalu, mengapa ketika Dafa sudah menjadi seperti sekarang, yang mempunyai nama besar, Dafa malah bekerja untuk negara orang lain? Bukankah Papa, Mama dan guru-guru Dafa mendidik Dafa supaya kelak Dafa bisa membuat Indonesia semakin maju? Dafa merasa malu kalau Dafa terus bekerja untuk negara lain yang jelas-jelas bukan tanah kelahiran Dafa. Dan Dafa juga merasa tak tahu diri Pa, Ma, karena Dafa bekerja kepada negara yang bukan merupakan mesin yang membuat Dafa menjadi seperti sekarang. Dafa yang sekarang adalah hasil karya Indonesia Pa, Ma. Dafa merasa berhutang kepada sang garuda. Dan ketika Dafa bisa merubah masyarakat Amerika Serikat, Dafa berpikir, harusnya Dafa lebih bisa merubah masyarakat di tanah kelahiran Dafa sendiri agar menjadi lebih baik. Bukankah ini juga bisa menjadi suatu kebanggaan yang luar biasa jika Dafa mampu memperbaiki masyarakat Indonesia Pa, Ma?”
Selesai dengan perkataanku yang panjang lebar tersebut, mereka semua terdiam dan tersenyum sambil menitikkan air mata. Lalu mereka memelukku erat-erat, yang menurutku ini menandakan bahwa mereka setuju denganku.
“Dafa berjanji pada kalian. Papa, Mama, Resha, dan Indonesia. Dafa akan berusaha keras untuk merebahkan kembali sayap Garuda Indonesia, agar dia bisa membawa Indonesia terbang tinggi dan dikenal baik di mata dunia.”
Maafkan aku, Garuda, yang telah melupakan semua jasamu. Kini aku kembali kepadamu, dan aku berjanji padamu. Aku akan bisa membuat sayapmu terbang tinggi. Hingga engkau bisa terbang dengan membawa nama Indonesia dan kau buktikan kepada dunia bahwa Indonesia BISA menjadi lebih baik!

No comments:

Post a Comment